Jumat, 30 Mei 2014

ILMU KALAM “ Aliran dalam Ilmu Kalam Klasik dan Pemikirannya”




MAKALAH
ILMU KALAM
“ Aliran dalam Ilmu Kalam Klasik dan Pemikirannya”
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Di saat dan kondisi khalifah Rasyidah telah kehilangan ekstensinya ini membawa munculnya perselisishan-perselisihan kemadzhaban dalam barisan umat Islam. Adapun yang menyuburkan perselisihan ini mengembangkan serta memberinya kesempatan untuk menjadi pertikaian-pertikaian mendasar dan perbedaan-perbedaan esensial. Berdasarkan adanya kondisi politis dan administratif tampa ditinjau oleh suatu politis, filsafat, atau politis kemazhaban. Namum setelah terjadinya pembunuhan Saidin Usman, sebagai akibat dari pemberontakan itu dan angin topan pertikaian ini berubah menjadi perang saudara di masa khalifahan saidina Ali bin Abi Thalib, kemudian kejadian-kejadian yang beruntung sesudah itu, yakni pecahnya perang unta, kemudian perang siffin, lalu persoalan tahkim, serata pertempuran nahrawan dan mucullah pertanyaan-pertanyaan yang merasuki fikiran rakyat yang kemudian menjadi benih perdebatan dan diskusi dimana, siapa yang berada dalam kebenaran dalam pertarungan ini dan siapa yang berada di atas jalan kebathilan.[1]
Akibat timbulanya pertanyaan-pertanyaan seperti ini maka lahirlah teori-teori yang masing-masing berdiri sendiri, dan pada mulanya bersifat politis semata-mata kemudian pera pendukungnya sedikit demisedikit terpaksa menyusun beberapa teori yang bersifat keagamaan, demi untuk memperkuat pihak mereka. Dengan demikian berubahlah kelompok-kelompok politik ini, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya menjadi kelompok-kelompok mazhab atau aliran-aliran Ilmu Kalam.[2]


B.     Rumusan Masalah
a.       Pengertin ilmu kalam?
b.      Apa saja aliran-aliran dalam Ilmu Kalam dan sekte pokok ajaran ?
c.       Siapa tokoh-tokoh dalam aliran Ilmu Kalam ?





























BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Ilmu Kalam

Tema al-kalam dimasukkan atau dipakai untuk menyebutkan salah satu sifat Allah, yakni sifat waj ib bagi Allah yang disebut Al-Kalam. [3] Pengertian Ilmu Kalam secara terminologis ada beberapa pendapat. Ibnu Khaldun mengartikan sebagai berikut: “Ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil akal dan berisi bantaha-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunah. Defenisi yang diberikan Ibnu Khaldun tersebut dapat diambl kesimpulan bahwa pada mulanya ulama kalam(mutakalimin) menggunakan dalil akal semata-mata untuk mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dan memberi argumentasi-argumentasi logis terhadap para penyerang iman itu. Logika dalil atau argumentasi akal dalam mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman itu kemudian berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang disebut Ilmu Kalam.[4]

B.     Aliran-Aliran Ilmu Kalam Klasik
1.    Aliran Khawarij
a.     Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Khawarij
Aliran Khawarij merupakan aliran teologi tertua yang merupakn aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama Khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[5] Kelompok ini juga kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah di samping itu nama lain dari Khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat Kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan  Mu’awiyah.[6]
Kelompok Khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka  terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, gubernur Syam, pada waktu perang siffin. Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada  ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-quran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang  melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.[7] Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik  menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash. Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.




b.         Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
a.       Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pimpinan Khawarij pertama)
b.      Urwah bin Hudair
c.       Mustarid bin sa’ad
d.      Hausarah al-Asadi
e.       Quraib bin Maruah
f.       Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
g.      Abdullah bin Basyir
h.      Zubair bin Ali
i.        Qathari bin Fujaah
j.        Abd al-Rabih
k.      Abd al Karim bin ajrad
l.        Zaid bin Asfar
m.    Abdullah bin ibad
c.    Sekte-sekte dan ajaran pokok dalam Khawarij
Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut adalah:

a)   Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim dan kemudian berkumpul disuatu tempat yang bernama Harura, bagian dari negeri Kufah. Pimpinan mereka diantaranya Abdullah bin al-Kawa, Utab bin al-A’war, Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah golongan Khawarij pertama yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua pengantar  Amr Ibnu al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah dan menjadi kafir. Demikian ini pula orang yang berbuat zina menurut mereka adalah dosa besar, kafir dan keluar dari Islam. Begitu pula orang yang membunuh sesama manusia tanpa sebab-sebab yang sah adalah dosa besar, keluar dari Islam dan menjadi kafir. Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya, dapat mengakibatkan dapat keluar dari Islam dan kafir.[8]
b)   Al-Azariqah
Al-Azariqah adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang besar dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak diperbatasan Irak dan Iran. Jika nama Muhakkimah dinisabkan pada peristiwa tahkim, maka nama Azariqah dinisabkan pada tokohnya bernama Nafi Ibn al-Azariqah. Para pengikut golongan ini, menurut al-baghdadi berjumlah lebih dari dua puluh ribu orang. Khalifah yang pertama mereka pilih adalah Nafi sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir al-Mu’minin. Tokoh ini kemudian wafat pada pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Sekte al-Azariqah ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka mengubah tern kafir menjadi musyrik dan polytheis dan tern yang disebut terakhir ini lebih tinggi kedudukannya daripada kufur. Keradikalan sub sekte ini antara lain terlihat pada pendapat-pendapatnya, seperti boleh membunuh anak kecil yang tidak sealiran dengan mereka, menghukum anak-anak musyrik di dalam neraka beserta orang tuanya, menghukum orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil secara kontinu dapat menjadi kafir, orang yang melakukan dosa besar disebut kafirmillah, kelau dari Islam secara total dan kekal dalam neraka beserta orang-orang kafir.[9]

c)    Al-Najdat
Al-Najdat adalah golongan Khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diambil dari nama pemimpinnya yang bernama Najdah Ibn Amir al-Hanafiah dari Yamamah. Mereka ini pada mulanya ingin bergabung dengan kaum Azariqah. Namun rencana ini tidak terwujud, karena terjadi perselisihan paham antara al-Azariqah dan al-Najdat. Para pengikut Nafi Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Atitah al-Hanafiah dalam hal tidak menyetujui paham al-Azariqah yang mengatakan bahwa orang Azraqy yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azaqariah adalah musyrik. Mereka juga tidak menyetujui pendapat al-Azaqariah yang embolehkan membunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sepaham dengan mereka. Selanjutnya mereka memisahkan diri dari Nafi dan pergi ke Yaman. Disinlah mereka dapat maenarik Najdah ke pihak mereka dalam upaya menentang paham yang dikemukakan Nafi sebagai man disebutkan di atas.
Berlainan dengan al-Azaqariah, Najdah berpendapat bahwa orany yang berdosa besar dan dapat menjadi kafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak mau sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengaerjakan dosa besar, betul mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.
Seterusnya mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi setiap orang Islam ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya kepada selalu ruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya itu. Orang yang tidak mengetahui semua ini tidak dapat diampuni dosanya. Dalam hal selain dari yang disebutkan, orang Islam tidak diwajibkanmengetahuinya. Sedangkan jika seseorang muslim mengerjakan sesuatu yang haram dengan tidak mengetahui bahwa itu haram, maka ia dimaafkan.
Dari pendapat tiga aliran Khawarij sebagaimana disebutkan, terlihat bahwa pendapat nereka itu memperlihatkan keadaan yang kaku, keras dan ekstrim sehingga pendapat-pendapatnya itu kurang berkembang di masyarakat.[10]
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij dapat disimpulakan: Pertama orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh dan orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan Zubair, dengan Ali bin Abi Thalibb) dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan mambenarkannya dihukum kafir.[11]

2.    Aliran Murji’ah
a.    Pengertian dan latar belakang aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.Pandangan mereka itu terlihat pada kata murji’ah yang barasal dari kata arja-a yang berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan.[12]
Hal-hal yang melatarbelakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah :
1.      Adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin.
2.      Adanya pendapat yang menyalahkan aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
3.      Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.[13]
b.    Sekte-sekte dan ajaran pokok Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan penadapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan.
Pada umunmnya kaum Murji’ah di golongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Moderat dan golongan Ekstrim.

a)    Golongan Moderat
Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka.
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan iman.
Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam di anggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan iman orang islam yang patuh menjalankan perintah-perinyah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting dibandingkan dengan iman.[14]

b)   Golongan Ekstrim
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:
1)   Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah berhala atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. Dan orang yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya.[15]

2)        Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan dan Kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.

3)        Al-Yunusiyah
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi berpendapat bahwa iman itu adalah mengenai Allah, dan menundukkan diri padanya dan mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada diri seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti taat misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinannya itu betul-betul benar.[16]

4)        Al-Ubaidiyah
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan- perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik atau politheist.
5)        Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.
6)        Al-Ghailaniyah
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
7)        As-Saubaniyah
 As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.[17]
8)        Al-Marisiyah
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.

9)        Al-Karamiyah
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui secara lisan. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.[18]

3.    Aliran Qadariyah
a.    Pengertian dan latar belakang aliran Qadariyah
Qadariyah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminologi qadariyah adalah suatuu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinversi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan kebebasan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[19] Dalam paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan.
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT.[20]
Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur`an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qur`an dan Hadits, bukan sebaliknya. Dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekannkan poisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa adanya campur tangan Tuhan.[21]

b.    Sekte-sekte dan ajaran pokok aliran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297-298, pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :
1)      Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
2)      Allah SWT, tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusialah yang menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik surga atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk siksa neraka atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
3)      Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
4)      Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
4.    Aliran Jabariyah
a.    Pengertian dan latar belakang aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predistination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan.[22] Di dalam al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari dua kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalism atau predistination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan. [23]
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham keudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan Jamhiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah serketaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemainya dalam melawan kekuasaan Bani Umayyah.[24] Namun dalam perkembangannya, paham al-Jabar juuga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya al-Husain bin Muhammad  an-Najjar.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jaln untuk merubah sekeliling mereka sesuai dengan keinginanya sendiri. Mereka merasa lemah menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sifat fatalism.
Sebenarnya benih faham-faham al-Jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1)   Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sekarang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-aya Tuhan mengenai takdir.[25]
2)   Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi pencuri itu berkata, ”Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu Umar marah sekali dan menganggap orang tersebut telah berdusta kepada Tuhan. [26]
3)   Khalifah Ali bin Abi Thalib sesuai perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya pahala dan siksa. Ada pahala dan siksa sebagai balasan perbuatan manusia. Sekiranya qada dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya kepada orang-orang yang baik.[27]
4)   Dalam pemerintahan Daulah Bani Umaiyah, pandangan tentang Al-Jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melaui suratnya memberikan reaksi keras terhadap penduduk Syria yang diduga berpaham Jabariyah. [28]


b.    Sekte-sekte dan pokok ajaran Jabariyah
Jaham bin Shafwan mempunyai pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak mempunyai pilihan dan kekuasaan. Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang telah di lakukannya. Allah SWT, telah mentakdirkan ats dirinya segala amal perbuatan yang mesti di kerjakannya, dan segala perbuatan itu adalah ciptaan allah, sama seperti apa yang dia ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, jaham menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa merupakan paksaan dalam arti bahwa allah telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus memberi pahala dan allah telah mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang yang termakan paham ini bisa menjadi apatis dan beku hidupnya, tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpangku tangan, menunggu takdir Allah semata-mata dan berusahapun tidak. Karena mereka telah berkeyakinan bahwa allah telah mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia tidak bisa mengusahakan sesuatu itu.
Disisi lain, aliran ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Berkenaan dengan itu perlu dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan Jaham bin Shafwan adalah paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Menurut Najjar dan Dirar, bahwa  Tuhanlah yang menciptakan perbuatan Manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatanitu.Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak semata-mata di paksa dalam melaksanakan perbuatannya.

5.    Aliran Syiah
a.    Pengertian dan latar belakang aliran Syiah
Syiah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, atau kelompok. Sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaanya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Golongan syiah muncul pada akhir masa Khalifah ketiga, Utsman dan kemudian berkembang pada masa Khalifah Ali.[29]
Adapun pengertian Syiah menurut para ahli, diantaranya :
1)      Menurut Abdul Mun’eim al-Nemrdalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah mengatakan bahwa kata Syiah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syiah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik. [30]
2)      Menurut Sukamah Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum pendukung. Sedangkan secara khusus, perkataan Syiah mengandung pengertian Syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut atau pendukung  Ali bin Abi Thalib. [31]
3)      Menurut Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy disebutkan dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Kalam bahwa Syiah berarti pengikut (pendukung paham). Dipakai kata ini untuk satu orang, dua orang atau banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian kata ini dipakai secara khusus buat orang yang mengangkat Ali dan keluarganyalah yang berhak menjadi Khalifah.[32]
4)      Kemudian lebih tegasnya lagi Muhammad Amin Suma dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menegaskan Syiah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.[33]

b.    Sekte-sekte dan ajaran pokok Syiah

1)      Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad Saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad Saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam Syiah bentuk terakhirlah yang lebih populer.
2)       Al-Bada’. Dari segi bahasa, \bada’ berarti tampak. Doktrin al-bada’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syiah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.[34]
3)       Asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syiah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syiah juga membaca salawat bagi Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan.[35]
4)      Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad Saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.dalam Syiah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syiah, kecuali Syiah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash.
5)      ‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa. Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan. [36]
6)      Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia. [37]
7)      Marja’iyyah atau Wilayah al-Faqih. Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqih terdiri dari dua kata: wilayah berarti kekuasaan atau kepemimpinan dan faqih berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilayah al-faqih mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.       
8)      Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr. Mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah syiah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusia akan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syiah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan Ali.[38]
9)       Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqa yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syiah.[39]
10)  Tawassul. Tawassul adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Ya Fathimah isyfa’i ‘indallah” (Wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.
11)  Tawalli dan tabarii Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulanan yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarri berasal dari kata tabarra’a ‘an fulan yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syiah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarri dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan  Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina Ali dan lindungilah orang yang melindungi Ali.” (HR. Ahmab Bin Hasbal).[40]

6.    Aliran Mutazilah
a.    Pengertian dan latar belakang aliran Mutazilah
Aliran Mutazilah merupakan aliran Theology Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang hendak mengetahui filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Mutazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Kata Mutazilah berasal dari kata I’tizal yang artinya memisahkan diri. Sedangkan Mutazilah adalah orang-orang yang memisahkan diri. Secara harfiah kata Mutazilah berasal dari kata I’tazilah yang berarti berpisah dan memisahkan diri. Secara teknis, istilah Mutazilah menunjuk kepada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mutazilah) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali Bin Abi Thalib dengan lawan-lawanya, terutama dengan Muawiyah, Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mutazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah.[41]
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mutazilah II) muncul sebagai respon persoalan bagi teologi yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murjiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang status kafir kepada orang yang berdosa besar.[42]
b.    Tokoh-tokoh Mutazilah
Tokoh aliran Mutazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya.[43]

1)   Wasil bin ‘Ata
Lengkapnya Wasil bin ‘Ata al-Ghazali. Ia terkenal sebagai pendiri aliran Mutazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip ajaran Mutazilah.
2)   Al-allaf
Namanya Abdul Huzail Muhammad bin al-huzail al’Allaf. Sebutan al’Allaf diperolehnya karena rumahnya terletak di kampung penjual makanan binatang (‘alaf makanan binatang). Ia berguru pada Usman at-Tawil, murid Wasil. Puncak kebesarannya dicapainya pada masa al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan perdebatan orang-orang zindiq (orang yang pura-pura Islam0, skeptik, Majusi, Zoroaster, dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk Islam di tangannya.
3)   An Nazzham
Namanya Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazzham, tokoh Mutazilah yang terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula karyanya. Ketika kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang yang bukan agama Islam, dan sesudah dewasa ia banyak berhubungan dengan fiosof-filosof yang hidup pada masanya, serta banyak mngambil pendapat-pendapat mereka.
An Nazzham mempunyai kekuatan otak yang luar biasa, dimana beberapa pemikirannya telah mendahului masanya, antara lain tentang metode keraguan dan empirika yang menjadi dasar kebangunan baru di Eropa. [44]
4)   Al-Jubbai
Al-Jubbai adalah guru imam Al-Asy’ari, tokoh utama aliaran Ahlussunnah. Ia membantah buku karangan Ibnu ar Rawandi yang menyerang aliran Mutazilah dan juga membalas serangan iman al-Asy’ari ketika yang terakhir ini keluar dari barisan Mutazilah. Akan tetapi pikiran-pikiran dan tafsiran-tafsiranya terhadap al-Qur`an tidak sampai kepada kita. Antara al-Jubbai dan anaknya, Abu Hasyim, sering dikelirukan orang, karena anaknya juga menjadi tokoh Mutazilah, dan alirannya terkenal dengan nama Bahsyamiah. Aliran ini banyak tersebar di Iran dan sekitarnya, karena mendapat dukungan dari Sahib bin ‘Ahad, menteri kerajaan Bani Buwaihi.[45]
5)   Bisjir bin Al-Mu’tamir
Ia adalh pendiri aliran Mutazilah di Bagdad. Pandangan-pandanganya mengenai kesusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya al Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orany pertama-tama mengadakan ilmu Bagdad. Beberapa pendapatnya tentang Mutazilah hanya sedikit saja yang sampai kepada kita. Ia adalah orang yang pertama-tama mengemukakan soal tawalud yang boleh jadi dimasudkan untuk mencari batasan-batasan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.[46]
6)   Al-Cahyyat
Ia adalah Abu al-Husein al-Khayyat, termasuk tokoh Mutazilah Bagdad, dan pengarang buku “al-Intisari” yang dimaksudkan untuk membela aliran Mutazilah dari serangan Ibnu ar Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mutazilah.
7)   Al-Qadhu Abdul Jabbar
Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran Mutazilah. Ia diangkat menjadi hakim (qadhi al-qudhat) oleh Ibnu ‘Abad. Diantara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran Mutazilah, terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di Kario dangan nama “al-Mughni”. [47]
8)   Az-Zamaihsyari
Namanya Jar Allah Abdul Qasim Muhammad bin Umar kelahiran Zamachsyar, sebuah dusun di negeri Chawarazm, Iran. Sebutan Jarullah yang berarti tetangga Tuhan, dipakainya karena ia lama tinggal di Mekkah dan bertempat disebuah rumah dekat Ka’bah. Selama hidunya ia banyak mengadakan periwayatan, dari negeri kelahirannya menuju Bagdad, kemudian ke Mekkah untuk bertempat di sana beberapa tahun lamanya dan akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Ia dengan terang-terang menonjolkan karya aliran Mutazilah selama kurang lebih 4 abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu dan paramasastera, seperti yang dapat kita dalam tafsirnya “Al-Kassyaf” dan kitab-kitab lainnya seperti “al-Faiq” dan “al-Mufassal”.[48]

c.    Sekte-sekte dan ajaran pokok Mutazilah
Aliran Mutazilah terdiri atas lima prinsip utama yang diurutkan menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu:
1)   Keesaan (al-tauhid)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mutazilah, tetapi karena mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli tauhid.[49]
2)   Keadilan (al-‘adlu)
Dasar keadilan adalah meletakkan tanggung jawab manusia atas segala perbuatannya. Golongan Mutazilah menafsirkan keadilan tersebut sebagai berikut: “ Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena qodrat yang dijadikan Tuhan kepada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang apa yang dilarang-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu dari keburukan yang dilarang-Nya”.
Dengan dasar keadilan ini mereka menolak pendapat golongan Jibriyyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggap suatu kezaliman menjatuhkan siksa kepadanya.[50]


3)   Janji dan ancaman (al-Wa’du wai Wa’idu)
Prinsip ini adalah kelanjutan dari prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Mutazilah yakni bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau neraka pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat akan dibalas dengan kejahatan pula.
4)   Tempat diantara dua tempat (al manzilatu bainal manzilataini)
Tempat ini sangat penting karenanya Wasil bin ‘Ata memisahkan diri dari Hasan Basri. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri tanpa iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah orang mu’min dan di atas orang kafir.
5)   Menyuruh kebaikan dan mmelarang keburukan ( amar ma’ruf nahi munkar)[51]
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklifi dan lapangan fiqh daripada lapangan kepercayaan atau tauhid. Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang memuat prinsip ini, antara lai surat Ali Imron ayat 104 dan Lukman ayat 117.  Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang Islam untuk penyiaaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat.[52]
7.    Aliran Asy’ariah
a.    Pengertian dan latar belakang aliran Asy’ariah
Aliran Asy’ariah merupakan sempalan dari aliran Mutazilah. Nama Asy’ariah diambil dari nama Abu al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang lahir di kota Irak pada tahun 206 H/ 873 M. pada awalnya aliran Asy’ariah ini berguru kepad tokoh Mutazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali al-Jubbai. Dalam pelajaran itu ia membandingkan berbagai pemikiran yang telah ada dan ilmu yang sedang berkembang. Ia juga merenungkan dan membandingkan ajaran-ajaran Mutazilah dengan faham ahli fiqih dan hadis.[53]
Ketika berusia 40 tahun beliau  merenung di kamar rumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jumat ia naik mimbar di masjid Bashrah secara resmi menyatakan pendirinya keluar dari Mutazilah.

b.    Tokoh-tokoh Asy’ariah
1)      Al-Baqillani
2)      Ibnu Faurak
3)      Ibnu Ishak al-Isfaraini
4)      Abdul Kahir al-Bagdadi
5)      Imam al-Haramain al-Juwaini
6)      Abdul Mudzaffar al-Isfaraini
7)      Al-Ghazali
8)      Ibnu Tumart
9)      As-Syihristani
10)  Ar-Razi
11)  Al-Iji
12)  As-Sanusi

c.    Sekte-sekte dan ajaran pokok Asy’ariah
1)   Sifat
2)   Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
3)   Melihat Tuhan pada hari kiamat
4)   Dosa besar[54]

8.    Aliran al-Maturidi
a.    Pengertian dan latar belakang aliran al-Maturidi
Nama aliran Maturidiah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansus Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid, kota kecil di daerah Samarkand. Kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan ia meninggal dunia di kota Samarkan pada tahun 333 H.
Ia mencari ilmu pertiga terakhir dari abad ketiga Hijrah, dimana aliran Mutazilah sudah mulai mengalami kemundurannya, dan diantara gurunya ialah Nasr bin Yahya, wafat pada 268 H. pada masanya, negeri tempat ia dibesarkan menjadi arena perdebatan antara aliran fiqh Hanafiah dengan aliran Syafiiah, bahkan upacara kematian pun tidak terlepas dari perdebatan semacam itu, sebagaimana terjadi juga perdebatan antara fuquha dan ahli-ahli hadis di satu pihak dengan aliran Mutazilah dipihak lain dalam soal-soal Theology Islam.[55]
Maturidiyah lebih mendekati golongan Muktazillah. Dalam membahas ilmu kalam, Maturidiyah mengemukakan tiga dalil, yaitu sebagai berikut:

1)      Dalil perlawanan arad: dalil ini menyatakan bahwa ala mini tidak akan mungkin qasim karena didalamnya terdapat keadaan yang berlawanan, seperti diam dan derak, baik dan buruk. Keadaan tersebut adalah baru dan sesuatu yang tidak terlepas dari yang baru maka baru pula.
2)      Dalil terbatas dan tidak terbatas: alam ini terbatas, pihak yang terbatas adalah baru. Jadi alam ini adalah baru dan ada batasnya dari segi bendanya. Benda, gerak, dan waktu selalu bertalian erat. Sesuatu yang ada batasnya adalah baru.
3)      Dalil kausalitas: alam ini tidak bisa mengadakan dirinya sendiri atau memperbaiki dirinya kalau rusak. Kalau alam ini ada dengan sendirinya, tentulah keadaannya tetap msatu. Akan tetapi, ala mini selalu berubah, yang berarti ada sebab perubahan. [56]

b.    Sekte-sekte dan ajaran pokok Maturidiyah
1)      Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
2)      Perbuatan Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatan tuhan.
3)      Al Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari.
4)      Kewajiban tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
5)      Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
6)      Janji tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.[57]


























BAB II
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Aliran di atas merupakan aliran dalam ilmu kalam klasik. Dimana aliran tersebut memiliki latar belakang dari berdirinya suatu aliran. Setiap aliran-aliran tersebut memiliki tokoh dan ajaran dalam perkembangannya. Aliran Islam banyak aliran-aliran sempalan dalam Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan aliran sempalan dalam Islam adalah aliran yang ajaran-ajarannya menyempal atau menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya telah disampaikan Rasullulah Saw atau dalam bahasa agama ini disebut Ahli Bid’ah. Oleh karena itu, sebagai umat Isalm kita harus cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Khawrij, Syiah dan aliran-aliran lainnya.
Setiap aliran memiliki pendapat yang berbeda-beda, pendapat itu mereka yakini walaupun bertentangan dengan ajaran Islam. Aliran-aliran di atas selalu menganggap bahwa masing-masing aliran mereka adalah yang sempurna dan patuh untuk dikembangkan dalam ajaran disekitar mereka.

B.  KRITIK DAN SARAN
1.    Kritik
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun isi dari makalah ini, sehingga saya mengharapkan kritik yang membangun dari pembaca.
2.    Saran
 Dalam makalah yang saya buat ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalam kalimat maupun kata-kata dalam pembahasannya secara keseluruhan. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan dari para pembaca makalah ini untuk kedepannya agar lebih sempurna lagi.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setai, 1998
Al-Nemr, Abdul Mun’eim, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syiah, Semarang: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1998
Ash Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 2009
Ash Shiddieqy, Muhammad Teungku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Kalam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009
 Asumsi, M. Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Atjeh, Abu Bakar, Syiah, Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam, 1965
Dahlan, Anwar, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Jakarta: Beuneubi Cipta, 1987
Hamdani, Maslani, Ilmu Kalam, Bandung: Mizan Pustaka, 2011
 Hanafi A. Theology Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan ke-2, 2003
Hanafi A. Theology Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan ke-5, 1983
Hasjmy, Syiah dan Alhusnah, Surabaya: Bina Ilmu, 1983
Imarah, Muhammad, Tayyarat Al-Fikr Al-Islamy, Surabaya: Logos Wacana Ilmu, 1991
Karya, Soekama, dkk,. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996
Mu’in, Abd Taib Thair, llmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986
Nasir, A. Sahilun, Pemikiran Kalam Teologi Islam Sejarah Ajaran dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010
Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Rida, Safni, Ilmu Kalam, Curup: LP2 STAIN CURUP, 2010
Rosihan, Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Syariati, Ali, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasrulloh dan Afif Muhammad, Bandung: Mizan Pustaka, 1995


[1] A. Nasir Sahilun,  Pemikiran Kalam Teologi Islam Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 44
[2] Safni Rida, Ilmu Kalam, (Curup: LP2 STAIN Curup, 2010), hlm. 155
[3] Ibid, hlm. 1
[4] Ibid, hlm. 5
[5] Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 29
[6] M. Yusran Asumsi, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 55
[7] Ibid, hlm. 25
[8] Ibid, hlm. 31
[9] Ibid, hlm. 31-31
[10] Ibid, hlm. 32-33
[11] Ibid, hlm. 33
[12] Hasjmy, Syiah dan Alhusnah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 41
[13] Ibid
[14] Ibid, hlm. 42
[15] Muhammad Imarah, Tayyarat Al-Fikr Al-Islamy, (Surabaya: Logos Wacana Ilmu, 1991), hlm. 33-34
[16] Ibid, hlm. 34
[17] Ibid, hlm. 34
[18] Ibid, hlm. 35
[19] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Setia Pustaka, 2000), hlm. 70
[20] Abudin Nata, op.,cit, hlm. 36
[21] Ibid, hlm. 70
[22] Safni Rida, op.,cit, hlm. 179
[23] Harun Nasution, Teologi Islam, (UI Press, Jakarta: 1989), hlm. 31
[24] Ibid, hlm. 33
[25] Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Jakarta: Beuneubi Cipta, 1987),  hlm. 27
[26] Anwar Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 65
[27] Ibid, hlm. 66
[28] Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), hlm. 102
[29]  Imam Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta Selatan: Logos Publishing House, 1996), hlm. 34
[30] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syiah, (Semarang: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), hlm. 34-35
[31] Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), hlm. 125
[32] Teungku Muhammad Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Kalam,  (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009 ), hlm. 109
[33] Ibid, hlm. 11
[34] Ibid, hlm. 154
[35] Ibid, hlm. 155
[36] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), hlm. 159
[37] Abu Bakar Atjeh, Syiah, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam, 1965), hlm. 23
[38]  Ibid, hlm. 159
[39] Ibid, hlm. 164
[40] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasrulloh dan Afif Muhammad  (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), cet. ke-2, hlm. 65
[41] Safni Rida, op.,cit, hlm. 187
[42] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 163
[43] A. Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), cet.ke-2, hlm. 69
[44] Ibid, hlm. 71
[45] Ibid, hlm. 72-73
[46] Ibid, hlm. 73
[47] Ibid
[48] Ibid, hlm. 74
[49] A. Hanafi, Thelogy Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.ke-5, hlm. 48
[50] Ibid,  hlm. 49
[51] Ibid, hlm. 76
[52] Ibid, hlm. 51
[53] Safni Rida, op.,cit, hlm. 192
[54]A. Hanafi, op.,cit, hlm. 108
[55] Ibid, hlm. 133
[56] Maslani Hamdani, Ilmu Kalam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2011), hlm. 80
[57] Ibid, hlm. 42

4 komentar: