MAKALAH
ILMU KALAM
“ Aliran dalam Ilmu Kalam
Klasik dan Pemikirannya”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di saat dan kondisi khalifah Rasyidah telah
kehilangan ekstensinya ini membawa munculnya perselisishan-perselisihan
kemadzhaban dalam barisan umat Islam. Adapun yang menyuburkan perselisihan ini
mengembangkan serta memberinya kesempatan untuk menjadi pertikaian-pertikaian
mendasar dan perbedaan-perbedaan esensial. Berdasarkan adanya kondisi politis
dan administratif tampa ditinjau oleh suatu politis, filsafat, atau politis
kemazhaban. Namum setelah terjadinya pembunuhan Saidin Usman, sebagai akibat
dari pemberontakan itu dan angin topan pertikaian ini berubah menjadi perang
saudara di masa khalifahan saidina Ali bin Abi Thalib, kemudian kejadian-kejadian
yang beruntung sesudah itu, yakni pecahnya perang unta, kemudian perang siffin,
lalu persoalan tahkim, serata pertempuran nahrawan dan mucullah
pertanyaan-pertanyaan yang merasuki fikiran rakyat yang kemudian menjadi benih
perdebatan dan diskusi dimana, siapa yang berada dalam kebenaran dalam
pertarungan ini dan siapa yang berada di atas jalan kebathilan.[1]
Akibat timbulanya pertanyaan-pertanyaan seperti
ini maka lahirlah teori-teori yang masing-masing berdiri sendiri, dan pada
mulanya bersifat politis semata-mata kemudian pera pendukungnya sedikit
demisedikit terpaksa menyusun beberapa teori yang bersifat keagamaan, demi
untuk memperkuat pihak mereka. Dengan demikian berubahlah kelompok-kelompok
politik ini, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya menjadi kelompok-kelompok
mazhab atau aliran-aliran Ilmu Kalam.[2]
B.
Rumusan
Masalah
a.
Pengertin ilmu kalam?
b.
Apa saja aliran-aliran dalam Ilmu Kalam dan sekte
pokok ajaran ?
c.
Siapa tokoh-tokoh dalam aliran Ilmu Kalam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Kalam
Tema
al-kalam dimasukkan atau dipakai untuk menyebutkan salah satu sifat Allah,
yakni sifat waj ib bagi Allah yang disebut Al-Kalam. [3]
Pengertian Ilmu Kalam secara terminologis ada beberapa pendapat. Ibnu Khaldun
mengartikan sebagai berikut: “Ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil
akal dan berisi bantaha-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari
kepercayaan salaf dan ahli sunah. Defenisi yang diberikan Ibnu Khaldun tersebut
dapat diambl kesimpulan bahwa pada mulanya ulama kalam(mutakalimin) menggunakan
dalil akal semata-mata untuk mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dan
memberi argumentasi-argumentasi logis terhadap para penyerang iman itu. Logika
dalil atau argumentasi akal dalam mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman
itu kemudian berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang disebut Ilmu Kalam.[4]
B.
Aliran-Aliran Ilmu Kalam Klasik
1.
Aliran Khawarij
a.
Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran
Khawarij
Aliran Khawarij merupakan aliran teologi tertua
yang merupakn aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi
Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang
yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia
keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in secara
baik-baik. Menurut bahasa nama Khawarij ini berasal dari kata “kharaja”
yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan
Ali.[5] Kelompok
ini juga kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang
mengorbankan dirinya untuk Allah di samping itu nama lain dari Khawarij ini
adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama
suatu tempat dekat Kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa
penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan
Mu’awiyah.[6]
Kelompok Khawarij ini merupakan bagian dari
kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan
mereka terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase)
dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya dengan Mu’awiyah
bin Abi Sofyan, gubernur Syam, pada waktu perang siffin. Latar belakang ketidak
setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah
yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh
manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-quran adalah
kafir. Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan merimanya adalah
kafir.[7] Atas
dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik
menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya
yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash. Untuk itu
mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta
sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
b.
Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara
tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
a.
Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan
rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pimpinan Khawarij pertama)
b.
Urwah bin Hudair
c.
Mustarid bin sa’ad
d.
Hausarah al-Asadi
e.
Quraib bin Maruah
f.
Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
g.
Abdullah bin Basyir
h.
Zubair bin Ali
i.
Qathari bin Fujaah
j.
Abd al-Rabih
k.
Abd al Karim bin ajrad
l.
Zaid bin Asfar
m.
Abdullah bin ibad
c.
Sekte-sekte dan ajaran pokok dalam Khawarij
Terpecahnya
Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya
dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte
tersebut adalah:
a)
Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah mereka yang keluar dari
barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim dan kemudian berkumpul disuatu
tempat yang bernama Harura, bagian dari negeri Kufah. Pimpinan mereka
diantaranya Abdullah bin al-Kawa, Utab bin al-A’war, Abdullah bin Wahab
al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah golongan Khawarij pertama yang terdiri dari
pengikut-pengikut Ali. Merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua
pengantar Amr Ibnu al-Ash dan Abu Musa
al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah
dan menjadi kafir. Demikian ini pula orang yang berbuat zina menurut mereka
adalah dosa besar, kafir dan keluar dari Islam. Begitu pula orang yang membunuh
sesama manusia tanpa sebab-sebab yang sah adalah dosa besar, keluar dari Islam
dan menjadi kafir. Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya, dapat
mengakibatkan dapat keluar dari Islam dan kafir.[8]
b)
Al-Azariqah
Al-Azariqah
adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang
besar dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak diperbatasan Irak dan Iran. Jika
nama Muhakkimah dinisabkan pada peristiwa tahkim, maka nama Azariqah dinisabkan
pada tokohnya bernama Nafi Ibn al-Azariqah. Para pengikut golongan ini, menurut
al-baghdadi berjumlah lebih dari dua puluh ribu orang. Khalifah yang pertama
mereka pilih adalah Nafi sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir
al-Mu’minin. Tokoh ini kemudian wafat pada pertempuran di Irak pada tahun
686 M.
Sekte
al-Azariqah ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka mengubah tern
kafir menjadi musyrik dan polytheis dan tern yang disebut terakhir ini lebih
tinggi kedudukannya daripada kufur. Keradikalan sub sekte ini antara lain
terlihat pada pendapat-pendapatnya, seperti boleh membunuh anak kecil yang
tidak sealiran dengan mereka, menghukum anak-anak musyrik di dalam neraka
beserta orang tuanya, menghukum orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dan
dosa-dosa kecil secara kontinu dapat menjadi kafir, orang yang melakukan dosa
besar disebut kafirmillah, kelau dari Islam secara total dan kekal dalam neraka
beserta orang-orang kafir.[9]
c)
Al-Najdat
Al-Najdat
adalah golongan Khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diambil dari nama
pemimpinnya yang bernama Najdah Ibn Amir al-Hanafiah dari Yamamah. Mereka ini
pada mulanya ingin bergabung dengan kaum Azariqah. Namun rencana ini tidak
terwujud, karena terjadi perselisihan paham antara al-Azariqah dan al-Najdat.
Para pengikut Nafi Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan
Atitah al-Hanafiah dalam hal tidak menyetujui paham al-Azariqah yang mengatakan
bahwa orang Azraqy yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azaqariah
adalah musyrik. Mereka juga tidak menyetujui pendapat al-Azaqariah yang
embolehkan membunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sepaham dengan
mereka. Selanjutnya mereka memisahkan diri dari Nafi dan pergi ke Yaman. Disinlah
mereka dapat maenarik Najdah ke pihak mereka dalam upaya menentang paham yang
dikemukakan Nafi sebagai man disebutkan di atas.
Berlainan
dengan al-Azaqariah, Najdah berpendapat bahwa orany yang berdosa besar dan
dapat menjadi kafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak mau
sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengaerjakan dosa besar,
betul mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk
surga.
Seterusnya
mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi setiap orang Islam ialah
mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan
percaya kepada selalu ruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya itu. Orang
yang tidak mengetahui semua ini tidak dapat diampuni dosanya. Dalam hal selain
dari yang disebutkan, orang Islam tidak diwajibkanmengetahuinya. Sedangkan jika
seseorang muslim mengerjakan sesuatu yang haram dengan tidak mengetahui bahwa
itu haram, maka ia dimaafkan.
Dari pendapat
tiga aliran Khawarij sebagaimana disebutkan, terlihat bahwa pendapat nereka itu
memperlihatkan keadaan yang kaku, keras dan ekstrim sehingga
pendapat-pendapatnya itu kurang berkembang di masyarakat.[10]
Secara umum
ajaran-ajaran pokok Khawarij dapat disimpulakan: Pertama orang Islam yang
melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh dan orang-orang yang
terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan Zubair, dengan
Ali bin Abi Thalibb) dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan
mambenarkannya dihukum kafir.[11]
2.
Aliran Murji’ah
a.
Pengertian dan latar belakang aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas
sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang
yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij.
Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya tuhanlah yang mengetahui
keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melukan dosa besar
masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa
besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun
melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi
dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan
kafir.Pandangan mereka itu terlihat pada kata
murji’ah yang barasal dari kata arja-a yang berarti menangguhkan,
mengakhirkan dan memberi pengharapan.[12]
Hal-hal yang melatarbelakangi kehadiran
murji’ah antara lain adalah :
1.
Adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan
Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan ali dan
mengakfirkan orang- yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin.
2. Adanya pendapat
yang menyalahkan aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang
jamal.
3. Adanya pendapat
yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.[13]
b.
Sekte-sekte dan ajaran pokok Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu
oleh perbedaan penadapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal
ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat
mengklasifikasikan.
Pada umunmnya kaum Murji’ah di golongkan menjadi dua golongan
besar, yaitu Golongan Moderat dan golongan Ekstrim.
a)
Golongan Moderat
Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin
Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits.
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan
tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan
besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan
mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka.
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad
Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits.
Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin.
Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: iman
adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang
segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian iman
tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan iman.
Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam di anggap
sama, tidak ada perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan iman
orang islam yang patuh menjalankan perintah-perinyah Allah. Jalan pikiran yang
dikemukakan oleh Abu Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan
kurang penting dibandingkan dengan iman.[14]
b)
Golongan Ekstrim
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah,
Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah,
Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan
sebagi berikut:
1)
Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan
pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang
percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah
menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia
tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang
telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran
agama Yahudi degan menyembah berhala atau Kristen dengan menyembah salib,
menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir,
melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. Dan orang yang demikian bagi
Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya.[15]
2)
Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui
Tuhan dan Kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka
sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman
kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji
bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3)
Al-Yunusiyah
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi
berpendapat bahwa iman itu adalah mengenai Allah, dan menundukkan diri padanya
dan mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada
diri seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti
taat misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah
iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya,
asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinannya itu betul-betul
benar.[16]
4)
Al-Ubaidiyah
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya
pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Melontarkan pernyataan bahwa
melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan- perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah
merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman
berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang
sebagai musyrik atau politheist.
5)
Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu Tuhan melarang makan
babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing
ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang
mengatakan, ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak
tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga
tetap mukmin.
6)
Al-Ghailaniyah
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut
mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan
sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
7)
As-Saubaniyah
As-Saubaniyah yang dipimpin
oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah.
Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan
mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui
adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya
syari’at.[17]
8)
Al-Marisiyah
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini,
iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan
Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di
yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun
kufur merupakan kebalikan dari iman.
9)
Al-Karamiyah
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai
pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran
secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui secara lisan. Sebagai
aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati
lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih
didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah
moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan
kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.[18]
3.
Aliran Qadariyah
a.
Pengertian
dan latar belakang aliran Qadariyah
Qadariyah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata
qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminologi
qadariyah adalah suatuu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diinversi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah
pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan kebebasan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[19] Dalam paham
qadariyah manusia di pandang mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar
dan qada Tuhan.
Mazhab
qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini
banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah
ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak
pada kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan
tindakan dan perbuatannya, dan Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan
manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar
Allah SWT.[20]
Aliran ini
merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip
ajaran Al-Qur`an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan
berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa
menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap
hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya
logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qur`an dan Hadits, bukan
sebaliknya. Dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekannkan poisi manusia
yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk melaksanakan
kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya
sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa adanya campur tangan Tuhan.[21]
b.
Sekte-sekte dan ajaran pokok aliran Qadariyah
Menurut Dr.
Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297-298, pokok-pokok
ajaran qadariyah adalah :
1)
Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir,
dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
2)
Allah SWT, tidak menciptakan amal perbuatan
manusia, melainkan manusialah yang menciptakannya dan karena itulah maka
manusia akan menerima pembalasan baik surga atas segala amal baiknya, dan
menerima balasan buruk siksa neraka atas segala amal perbuatannya yang salah
dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
3)
Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha
esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti
ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri.
Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan
meilahat dengan zatnya sendiri.
4)
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia
mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak
menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang
menyebabkan baik atau buruk.
4.
Aliran
Jabariyah
a.
Pengertian dan latar belakang aliran Jabariyah
Nama Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut
al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba
secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Dalam
bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predistination, yaitu faham
yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qada
dan qadar Tuhan.[22]
Di dalam al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari dua kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Dengan kata
lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa
Inggris, jabariyah disebut fatalism atau predistination, yaitu
faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula
oleh qada dan qadar Tuhan. [23]
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham
keudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi
Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan Jamhiyah dalam kalangan
Murji’ah. Ia adalah serketaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemainya dalam
melawan kekuasaan Bani Umayyah.[24] Namun
dalam perkembangannya, paham al-Jabar juuga dikembangkan oleh tokoh lainnya
diantaranya al-Husain bin Muhammad
an-Najjar.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian,
masyarakat Arab tidak melihat jaln untuk merubah sekeliling mereka sesuai
dengan keinginanya sendiri. Mereka merasa lemah menghadapi kesukaran-kesukaran
hidup. Akhirnya mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa
mereka kepada sifat fatalism.
Sebenarnya benih faham-faham al-Jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh
di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1)
Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sekarang sedang bertengkar
dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan
tersebut agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-aya Tuhan
mengenai takdir.[25]
2)
Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri.
Ketika diintrogasi pencuri itu berkata, ”Tuhan telah menentukan aku mencuri”.
Mendengar ucapan itu Umar marah sekali dan menganggap orang tersebut telah
berdusta kepada Tuhan. [26]
3)
Khalifah Ali bin Abi Thalib sesuai perang Shiffin ditanya oleh seorang tua
tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya pahala dan siksa. Ada pahala
dan siksa sebagai balasan perbuatan manusia. Sekiranya qada dan qadar itu
merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan
ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya
kepada orang-orang yang baik.[27]
4)
Dalam pemerintahan Daulah Bani Umaiyah, pandangan tentang Al-Jabar semakin
mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melaui suratnya memberikan reaksi
keras terhadap penduduk Syria yang diduga berpaham Jabariyah. [28]
b.
Sekte-sekte dan pokok ajaran Jabariyah
Jaham bin Shafwan mempunyai pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak
mempunyai pilihan dan kekuasaan. Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang
telah di lakukannya. Allah SWT, telah mentakdirkan ats dirinya segala amal
perbuatan yang mesti di kerjakannya, dan segala perbuatan itu adalah ciptaan
allah, sama seperti apa yang dia ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa.
Oleh karena itu, jaham menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa merupakan
paksaan dalam arti bahwa allah telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus
memberi pahala dan allah telah mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus
juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang yang termakan paham ini bisa menjadi
apatis dan beku hidupnya, tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpangku tangan,
menunggu takdir Allah semata-mata dan berusahapun tidak. Karena mereka
telah berkeyakinan bahwa allah telah mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia
tidak bisa mengusahakan sesuatu itu.
Disisi lain, aliran
ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala atau siksa karena
perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
Berkenaan dengan
itu perlu dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan Jaham bin Shafwan adalah
paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat,
seperti yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Menurut Najjar dan Dirar, bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan
Manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan
perbuatan itu manusia mempunyai bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia
oleh tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatanitu.Daya yang
diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut
Kasb atau acquisition.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang di gerakkan oleh
dalang, tetapi manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu
perbuatan, dan manusia tidak semata-mata di paksa dalam melaksanakan
perbuatannya.
5. Aliran
Syiah
a. Pengertian dan
latar belakang aliran Syiah
Syiah dilihat
dari bahasa berarti pengikut, pendukung, atau kelompok. Sedangkan secara terminologis
adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaanya selalu
merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Golongan syiah muncul pada akhir masa
Khalifah ketiga, Utsman dan kemudian berkembang pada masa Khalifah Ali.[29]
Adapun pengertian
Syiah menurut para ahli, diantaranya :
1)
Menurut Abdul Mun’eim al-Nemrdalam bukunya yang berjudul Sejarah dan
Dokumen-dokumen Syi’ah mengatakan bahwa kata Syiah menurut
pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan
lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang,
seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syiah digunakan
untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu
wajhah secara khusus, dan sangat fanatik. [30]
2)
Menurut Sukamah Perkataan Syi’ah secara
harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum
pendukung. Sedangkan secara khusus, perkataan Syiah mengandung
pengertian Syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut atau pendukung Ali bin Abi Thalib. [31]
3)
Menurut Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy
disebutkan dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau
Kalam bahwa Syiah berarti pengikut
(pendukung paham). Dipakai kata ini untuk satu orang, dua orang atau banyak
orang, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian kata ini dipakai secara khusus
buat orang yang mengangkat Ali dan keluarganyalah yang berhak menjadi Khalifah.[32]
4)
Kemudian lebih tegasnya lagi Muhammad Amin Suma
dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menegaskan Syiah adalah salah satu
aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat
Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.[33]
b. Sekte-sekte dan ajaran pokok Syiah
1)
Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti
keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus
dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad Saw. Ada tiga bentuk
pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad Saw dan
seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi
sendiri, Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan Ali bin Abi
Thalib. Dalam Syiah bentuk terakhirlah yang lebih populer.
2)
Al-Bada’.
Dari segi bahasa, \bada’ berarti tampak. Doktrin al-bada’ adalah
keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang
telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syiah,
perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu
maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering
dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur.
Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt
baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal,
maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah,
perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt
memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya.
Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya
Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.[34]
3)
Asyura.
Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya
adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syiah sebagai
hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin Ali dan
keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61
H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain
mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang
Syiah juga membaca salawat bagi Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, mengutuk
pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai
aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai
lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin Ali. Di Indonesia, upacara asyura
juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera
Barat, dalam bentuk arak-arakan.[35]
4)
Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan
bahwa setelah Nabi Muhammad Saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang
melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati,
adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan
rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat
di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran,
pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.dalam Syiah,
kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada
umumnya, dalam Syiah, kecuali Syiah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan
kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh
imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash.
5)
‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah
bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah
ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin
oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa. Ali Syari’ati
mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin
suatu komunitas atau masyarakat, orang yang memegang kendali nasib di
tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak mestilah
bebas dari kejahatan dan kelemahan. [36]
6)
Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti
keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan
menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam
Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang
dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki
keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah
Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai
sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di
akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh
masyarakat dunia. [37]
7)
Marja’iyyah atau Wilayah al-Faqih. Kata marja’iyyah
berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu.
Sedangkan kata wilâyah al-faqih terdiri dari dua kata: wilayah
berarti kekuasaan atau kepemimpinan dan faqih berarti ahli fiqh atau
ahli hukum Islam. Wilayah al-faqih mempunyai arti kekuasaan atau
kepemimpinan para fuqaha.
8)
Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a
yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan
dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah
hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah
di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Sementara Syaikh Abdul Mun’eim
al-Nemr. Mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah syiah,
yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusia akan dihidupkan kembali setelah
mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali.
Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan
dari prinsip Syiah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan
memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut
kepemimpinan Ali.[38]
9)
Taqiyah.
Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqa
yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga
keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam
kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.Perilaku
taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah
satu dasar mazhab Syiah.[39]
10) Tawassul. Tawassul adalah
memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang
Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan
Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan
yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu
terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas
pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka
selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Ya Fathimah isyfa’i ‘indallah”
(Wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.
11) Tawalli dan tabarii
Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulanan yang artinya mengangkat
seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarri berasal dari kata tabarra’a
‘an fulan yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang.
Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syiah berdasarkan beberapa ayat dan
hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait
dan tabarri dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai Ali bin
Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah
pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan
Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang membela Ali,
binasakanlah orang yang menghina Ali dan lindungilah orang yang melindungi
Ali.” (HR. Ahmab Bin Hasbal).[40]
6.
Aliran
Mutazilah
a.
Pengertian dan latar belakang aliran Mutazilah
Aliran Mutazilah merupakan aliran Theology
Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam
sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang hendak mengetahui filsafat Islam
sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah
menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Mutazilah, bukan oleh mereka
yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Kata Mutazilah berasal dari kata I’tizal yang
artinya memisahkan diri. Sedangkan Mutazilah adalah orang-orang yang memisahkan
diri. Secara harfiah kata Mutazilah berasal dari kata I’tazilah yang
berarti berpisah dan memisahkan diri. Secara teknis, istilah Mutazilah menunjuk
kepada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mutazilah) muncul
sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali Bin
Abi Thalib dengan lawan-lawanya, terutama dengan Muawiyah, Aisyah dan Abdullah
bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mutazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah.[41]
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mutazilah
II) muncul sebagai respon persoalan bagi teologi yang berkembang dikalangan
Khawarij dan Murjiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena
mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang status
kafir kepada orang yang berdosa besar.[42]
b.
Tokoh-tokoh Mutazilah
Tokoh aliran Mutazilah banyak jumlahnya dan
masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda dengan
tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya.[43]
1)
Wasil bin ‘Ata
Lengkapnya Wasil bin ‘Ata al-Ghazali. Ia
terkenal sebagai pendiri aliran Mutazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula
yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip ajaran Mutazilah.
2)
Al-allaf
Namanya Abdul Huzail Muhammad bin al-huzail
al’Allaf. Sebutan al’Allaf diperolehnya karena rumahnya terletak di kampung
penjual makanan binatang (‘alaf makanan binatang). Ia berguru pada Usman
at-Tawil, murid Wasil. Puncak kebesarannya dicapainya pada masa al-Ma’mun,
karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal
agama dan aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan perdebatan
orang-orang zindiq (orang yang pura-pura Islam0, skeptik, Majusi, Zoroaster,
dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk Islam di tangannya.
3)
An Nazzham
Namanya Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazzham,
tokoh Mutazilah yang terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak
pula karyanya. Ketika kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang yang bukan
agama Islam, dan sesudah dewasa ia banyak berhubungan dengan fiosof-filosof
yang hidup pada masanya, serta banyak mngambil pendapat-pendapat mereka.
An Nazzham mempunyai kekuatan otak yang luar
biasa, dimana beberapa pemikirannya telah mendahului masanya, antara lain
tentang metode keraguan dan empirika yang menjadi dasar kebangunan baru di
Eropa. [44]
4)
Al-Jubbai
Al-Jubbai adalah guru imam Al-Asy’ari, tokoh
utama aliaran Ahlussunnah. Ia membantah buku karangan Ibnu ar Rawandi yang
menyerang aliran Mutazilah dan juga membalas serangan iman al-Asy’ari ketika
yang terakhir ini keluar dari barisan Mutazilah. Akan tetapi pikiran-pikiran
dan tafsiran-tafsiranya terhadap al-Qur`an tidak sampai kepada kita. Antara
al-Jubbai dan anaknya, Abu Hasyim, sering dikelirukan orang, karena anaknya
juga menjadi tokoh Mutazilah, dan alirannya terkenal dengan nama Bahsyamiah.
Aliran ini banyak tersebar di Iran dan sekitarnya, karena mendapat dukungan dari
Sahib bin ‘Ahad, menteri kerajaan Bani Buwaihi.[45]
5)
Bisjir bin
Al-Mu’tamir
Ia adalh pendiri aliran Mutazilah di Bagdad.
Pandangan-pandanganya mengenai kesusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip
oleh al-Jahiz dalam bukunya al Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia
adalah orany pertama-tama mengadakan ilmu Bagdad. Beberapa pendapatnya tentang
Mutazilah hanya sedikit saja yang sampai kepada kita. Ia adalah orang yang
pertama-tama mengemukakan soal tawalud yang boleh jadi dimasudkan untuk mencari
batasan-batasan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.[46]
6)
Al-Cahyyat
Ia adalah Abu al-Husein al-Khayyat, termasuk
tokoh Mutazilah Bagdad, dan pengarang buku “al-Intisari” yang dimaksudkan untuk
membela aliran Mutazilah dari serangan Ibnu ar Rawandi. Ia hidup pada masa
kemunduran aliran Mutazilah.
7)
Al-Qadhu Abdul
Jabbar
Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran
Mutazilah. Ia diangkat menjadi hakim (qadhi al-qudhat) oleh Ibnu ‘Abad.
Diantara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran
Mutazilah, terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as-Syarif al
Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di Kario dangan nama
“al-Mughni”. [47]
8)
Az-Zamaihsyari
Namanya Jar Allah Abdul Qasim Muhammad bin Umar
kelahiran Zamachsyar, sebuah dusun di negeri Chawarazm, Iran. Sebutan Jarullah
yang berarti tetangga Tuhan, dipakainya karena ia lama tinggal di Mekkah dan
bertempat disebuah rumah dekat Ka’bah. Selama hidunya ia banyak mengadakan
periwayatan, dari negeri kelahirannya menuju Bagdad, kemudian ke Mekkah untuk
bertempat di sana beberapa tahun lamanya dan akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran)
dan di sana ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Ia dengan terang-terang
menonjolkan karya aliran Mutazilah selama kurang lebih 4 abad. Ia menjadi tokoh
dalam ilmu tafsir, nahwu dan paramasastera, seperti yang dapat kita dalam
tafsirnya “Al-Kassyaf” dan kitab-kitab lainnya seperti “al-Faiq” dan
“al-Mufassal”.[48]
c.
Sekte-sekte dan ajaran pokok Mutazilah
Aliran Mutazilah terdiri atas lima prinsip
utama yang diurutkan menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu:
1)
Keesaan (al-tauhid)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama.
Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mutazilah, tetapi karena
mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan dan mempertahankannya dengan
sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli tauhid.[49]
2)
Keadilan (al-‘adlu)
Dasar keadilan adalah meletakkan tanggung jawab
manusia atas segala perbuatannya. Golongan Mutazilah menafsirkan keadilan
tersebut sebagai berikut: “ Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta
perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena qodrat yang dijadikan Tuhan kepada
diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak
melarang apa yang dilarang-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang
diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu dari keburukan yang dilarang-Nya”.
Dengan dasar keadilan ini mereka menolak
pendapat golongan Jibriyyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala
perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggap suatu kezaliman
menjatuhkan siksa kepadanya.[50]
3)
Janji dan ancaman (al-Wa’du wai Wa’idu)
Prinsip ini adalah kelanjutan dari prinsip
keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Mutazilah yakni bahwa janji Tuhan
akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau neraka pasti
dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik
akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat akan dibalas dengan
kejahatan pula.
4)
Tempat diantara dua tempat (al manzilatu
bainal manzilataini)
Tempat ini sangat penting karenanya Wasil bin
‘Ata memisahkan diri dari Hasan Basri. Wasil memutuskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar selain syirik, tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik.
Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri tanpa iman dan kafir.
Tingkatan orang fasik di bawah orang mu’min dan di atas orang kafir.
5)
Menyuruh kebaikan dan mmelarang keburukan (
amar ma’ruf nahi munkar)[51]
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan
taklifi dan lapangan fiqh daripada lapangan kepercayaan atau tauhid. Banyak
ayat-ayat al-Qur`an yang memuat prinsip ini, antara lai surat Ali Imron ayat
104 dan Lukman ayat 117. Prinsip ini
harus dijalankan oleh setiap orang Islam untuk penyiaaran agama dan memberi
petunjuk kepada orang-orang yang sesat.[52]
7.
Aliran
Asy’ariah
a.
Pengertian dan latar belakang aliran Asy’ariah
Aliran Asy’ariah merupakan sempalan dari aliran
Mutazilah. Nama Asy’ariah diambil dari nama Abu al-Hasan Ali bin Ismail
Al-Asy’ari yang lahir di kota Irak pada tahun 206 H/ 873 M. pada awalnya aliran
Asy’ariah ini berguru kepad tokoh Mutazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali
al-Jubbai. Dalam pelajaran itu ia membandingkan berbagai pemikiran yang telah
ada dan ilmu yang sedang berkembang. Ia juga merenungkan dan membandingkan
ajaran-ajaran Mutazilah dengan faham ahli fiqih dan hadis.[53]
Ketika berusia 40 tahun beliau merenung di kamar rumahnya selama 15 hari
untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jumat ia naik mimbar di masjid Bashrah
secara resmi menyatakan pendirinya keluar dari Mutazilah.
b.
Tokoh-tokoh Asy’ariah
1)
Al-Baqillani
2)
Ibnu Faurak
3)
Ibnu Ishak al-Isfaraini
4)
Abdul Kahir al-Bagdadi
5)
Imam al-Haramain al-Juwaini
6)
Abdul Mudzaffar al-Isfaraini
7)
Al-Ghazali
8)
Ibnu Tumart
9)
As-Syihristani
10)
Ar-Razi
11)
Al-Iji
12)
As-Sanusi
c.
Sekte-sekte dan ajaran pokok Asy’ariah
1)
Sifat
2)
Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
3)
Melihat Tuhan pada hari kiamat
4)
Dosa besar[54]
8.
Aliran
al-Maturidi
a.
Pengertian dan latar belakang aliran
al-Maturidi
Nama aliran Maturidiah diambil dari nama
pendirinya, yaitu Abu Mansus Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid, kota
kecil di daerah Samarkand. Kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan
ia meninggal dunia di kota Samarkan pada tahun 333 H.
Ia mencari ilmu pertiga terakhir dari abad
ketiga Hijrah, dimana aliran Mutazilah sudah mulai mengalami kemundurannya, dan
diantara gurunya ialah Nasr bin Yahya, wafat pada 268 H. pada masanya, negeri
tempat ia dibesarkan menjadi arena perdebatan antara aliran fiqh Hanafiah
dengan aliran Syafiiah, bahkan upacara kematian pun tidak terlepas dari
perdebatan semacam itu, sebagaimana terjadi juga perdebatan antara fuquha dan
ahli-ahli hadis di satu pihak dengan aliran Mutazilah dipihak lain dalam
soal-soal Theology Islam.[55]
Maturidiyah lebih mendekati golongan
Muktazillah. Dalam membahas ilmu kalam, Maturidiyah mengemukakan tiga dalil,
yaitu sebagai berikut:
1)
Dalil perlawanan arad: dalil ini
menyatakan bahwa ala mini tidak akan mungkin qasim karena didalamnya terdapat
keadaan yang berlawanan, seperti diam dan derak, baik dan buruk. Keadaan
tersebut adalah baru dan sesuatu yang tidak terlepas dari yang baru maka baru
pula.
2)
Dalil terbatas dan tidak terbatas: alam ini
terbatas, pihak yang terbatas adalah baru. Jadi alam ini adalah baru dan ada
batasnya dari segi bendanya. Benda, gerak, dan waktu selalu bertalian erat.
Sesuatu yang ada batasnya adalah baru.
3)
Dalil kausalitas: alam ini tidak bisa
mengadakan dirinya sendiri atau memperbaiki dirinya kalau rusak. Kalau alam ini
ada dengan sendirinya, tentulah keadaannya tetap msatu. Akan tetapi, ala mini
selalu berubah, yang berarti ada sebab perubahan. [56]
b.
Sekte-sekte dan ajaran pokok Maturidiyah
1)
Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al
Asy’ari
2)
Perbuatan Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia
sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatan
tuhan.
3)
Al Quran. Pendapatnya sejalan dengan al
Asy’ari.
4)
Kewajiban tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki
kewajiban-kewajiban tertentu.
5)
Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan
dengan al Asy’ari
6)
Janji tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa
mesti terjadi, dan itu merupakan janji tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.[57]
BAB II
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Aliran
di atas merupakan aliran dalam ilmu kalam klasik. Dimana aliran tersebut
memiliki latar belakang dari berdirinya suatu aliran. Setiap aliran-aliran
tersebut memiliki tokoh dan ajaran dalam perkembangannya. Aliran Islam banyak
aliran-aliran sempalan dalam Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan aliran
sempalan dalam Islam adalah aliran yang ajaran-ajarannya menyempal atau
menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya telah disampaikan Rasullulah Saw
atau dalam bahasa agama ini disebut Ahli Bid’ah. Oleh karena itu, sebagai umat
Isalm kita harus cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu
aliran baik itu Khawrij, Syiah dan aliran-aliran lainnya.
Setiap aliran
memiliki pendapat yang berbeda-beda, pendapat itu mereka yakini walaupun bertentangan
dengan ajaran Islam. Aliran-aliran di atas selalu menganggap bahwa
masing-masing aliran mereka adalah yang sempurna dan patuh untuk dikembangkan
dalam ajaran disekitar mereka.
B.
KRITIK DAN SARAN
1.
Kritik
Dalam
penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam penulisan
maupun isi dari makalah ini, sehingga saya mengharapkan kritik yang membangun
dari pembaca.
2.
Saran
Dalam makalah yang saya buat ini masih banyak
terdapat kekurangan, baik dalam kalimat maupun kata-kata dalam pembahasannya
secara keseluruhan. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan dari para pembaca
makalah ini untuk kedepannya agar lebih sempurna lagi.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Ahmad,
Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setai, 1998
Al-Nemr, Abdul Mun’eim, Sejarah dan
Dokumen-dokumen Syiah, Semarang: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1998
Ash Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 2009
Ash Shiddieqy, Muhammad Teungku, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Tauhid atau Kalam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009
Asumsi,
M. Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Atjeh, Abu Bakar, Syiah, Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam,
1965
Dahlan, Anwar, Sejarah Perkembangan
Pemikiran Islam, Jakarta: Beuneubi Cipta, 1987
Hamdani, Maslani, Ilmu Kalam, Bandung: Mizan Pustaka, 2011
Hanafi
A. Theology Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, Cetakan ke-2, 2003
Hanafi A. Theology
Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, Cetakan ke-5, 1983
Hasjmy, Syiah dan Alhusnah, Surabaya:
Bina Ilmu, 1983
Imarah, Muhammad, Tayyarat
Al-Fikr Al-Islamy, Surabaya: Logos Wacana Ilmu, 1991
Karya, Soekama, dkk,. Ensiklopedi Mini
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996
Mu’in, Abd Taib
Thair, llmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986
Nasir, A. Sahilun, Pemikiran Kalam Teologi
Islam Sejarah Ajaran dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2010
Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan
Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Rida, Safni, Ilmu Kalam, Curup: LP2
STAIN CURUP, 2010
Rosihan, Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:
Pustaka Setia, 2003
Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Bandung:
Pustaka Setia, 2000
Syariati, Ali, Islam Mazhab Pemikiran dan
Aksi, terj. Nasrulloh dan Afif Muhammad, Bandung: Mizan Pustaka, 1995
[1] A. Nasir Sahilun, Pemikiran Kalam
Teologi Islam Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2010), hlm. 44
[2] Safni Rida, Ilmu
Kalam, (Curup: LP2 STAIN Curup, 2010), hlm. 155
[3] Ibid, hlm.
1
[4] Ibid, hlm.
5
[5] Abudin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995), hlm. 29
[6] M. Yusran
Asumsi, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 55
[7] Ibid, hlm.
25
[8] Ibid,
hlm. 31
[9] Ibid, hlm.
31-31
[10] Ibid, hlm.
32-33
[11] Ibid, hlm.
33
[12] Hasjmy, Syiah
dan Alhusnah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 41
[13] Ibid
[14] Ibid, hlm.
42
[15] Muhammad
Imarah, Tayyarat
Al-Fikr Al-Islamy, (Surabaya: Logos Wacana Ilmu, 1991), hlm. 33-34
[16] Ibid, hlm.
34
[17] Ibid, hlm.
34
[18] Ibid, hlm.
35
[19] Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, (Bandung: Setia Pustaka, 2000), hlm. 70
[20] Abudin Nata, op.,cit,
hlm. 36
[21] Ibid, hlm.
70
[25] Aziz Dahlan, Sejarah
Perkembangan Pemikiran Islam, (Jakarta: Beuneubi Cipta, 1987), hlm. 27
[26] Anwar Rosihan,
Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 65
[27] Ibid, hlm. 66
[28] Taib Thahir
Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), hlm. 102
[29] Imam Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik
dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta Selatan: Logos Publishing House, 1996),
hlm. 34
[30] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan
Dokumen-dokumen Syiah, (Semarang: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), hlm.
34-35
[31] Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), hlm. 125
[32] Teungku Muhammad Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau
Kalam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009 ), hlm. 109
[33] Ibid, hlm.
11
[34] Ibid,
hlm. 154
[35] Ibid,
hlm. 155
[36] Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang,
2009), hlm. 159
[37] Abu Bakar
Atjeh, Syiah, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam, 1965), hlm. 23
[38] Ibid, hlm. 159
[39] Ibid,
hlm. 164
[40] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan
Aksi, terj. Nasrulloh dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan Pustaka,
1995), cet. ke-2, hlm. 65
[41] Safni Rida, op.,cit,
hlm. 187
[42] Muhammad
Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 163
[43] A. Hanafi, Theology
Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), cet.ke-2, hlm. 69
[44] Ibid,
hlm. 71
[45] Ibid,
hlm. 72-73
[46] Ibid,
hlm. 73
[47] Ibid
[48] Ibid,
hlm. 74
[49] A. Hanafi, Thelogy
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.ke-5, hlm. 48
[50] Ibid, hlm.
49
[51] Ibid,
hlm. 76
[52] Ibid, hlm. 51
[53] Safni Rida, op.,cit,
hlm. 192
[54]A. Hanafi, op.,cit,
hlm. 108
[55] Ibid,
hlm. 133
[56] Maslani
Hamdani, Ilmu Kalam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2011), hlm. 80
[57] Ibid,
hlm. 42
Tulisan yang sangat bagus. I apreciate you. thank you. syukron katsir
BalasHapusizin copy ya untuk tugas
BalasHapusNgbantu banget buat tugas makasih yaaa
BalasHapusBoleh minta pdf nya bolehh ?
BalasHapus